Jumat, 28 Oktober 2011

ELIMINASI KASUS RABIES DI PROVINSI BALI (POLA UP-MID-DOWNSTREAM)


Provinsi Bali menempati peringkat teratas dalam kasus rabies di Indonesia selama kurun waktu dua tahun terakhir, walaupun angka kasus rabies di Bali tahun menurun 68 persen dibanding  tahun lalu. Pada Januari hingga Desember 2010 sebanyak 82 kasus rabies terjadi, sementara pada Januari hingga Oktober 2011 terdapat 19 kasus rabies.

Berdasarkan data Balai Penyidikan dan Pengujian Veteriner Regional VI Denpasar, jumlah kasus gigitan anjing terhadap manusia di Bali jumlahnya dua kali lipat secara nasional dalam kurun waktu setahun. Sebanyak  20.000 kasus gigitan terjadi di 23 provinsi di Indonesia di antaranya, Sumatera Utara, Sulawesi Utara dan Flores sedangkan di Provinsi Bali dalam setahun terjadi 40.000  kasus  gigitan dan menimbulkan korban jiwa sebanyak 125 orang.
Penyebab tingginya kasus rabies di Bali adalah budaya masyarakat Bali yang memelihara anjing, populasi anjing tinggi dibandingkan wilayah lain di Indonesia yaitu terdapat 540 ribu ekor atau  96 ekor anjing setiap satu kilometer, sedangkan di daerah lain hanya lima ekor/km (Yayasan Yudisthira Swarga).

Berbagai tindakan pencegahan telah dilakukan Pemerintah Provinsi Bali melalui dinas terkait seperti Dinas Kesehatan, Dinas Peternakan dan RSUD maupun RS Sanglah sebagai RS Rujukan.  Pencegahan sekunder (midstream) lebih banyak melibatkan pihak rumah sakit dalam pengobatan pasien yang tergigit anjing rabies, yang bertujuan untuk mencegah terjadinya komplikasi maupun keparahan rabies sehingga pasien bisa sembuh. Pencegahan tersier (downstream) yang bertujuan untuk membantu memulihkan kondisi pasien.

Pengobatan setelah terpapar, dikenal sebagai profilaksis pasca pajanan atau "PEP", sangat berhasil dalam mencegah penyakit jika diberikan segera, umumnya dalam waktu sepuluh hari infeksi. Seksama mencuci luka secepat mungkin dengan sabun dan air selama sekitar lima menit sangat efektif dalam mengurangi jumlah partikel virus. Antiseptik virucidal seperti povidone-iodine, tingtur yodium, larutan yodium berair atau alkohol (etanol) harus diterapkan untuk mencuci selaput lendir ekspos seperti mata, hidung atau mulut harus dibilas dengan air.

 Di Amerika Serikat, pasien menerima satu dosis imunoglobulin rabies pada manusia (HRIG) dan empat dosis vaksin rabies selama empat belas hari. Dosis imunoglobulin tidak boleh melebihi 20 unit per kilogram berat badan. HRIG sangat mahal dan merupakan sebagian besar biaya pengobatan pasca pajanan. Dosis pertama vaksin rabies diberikan sesegera mungkin setelah paparan, dengan dosis tambahan pada hari-hari tiga, tujuh dan empat belas setelah yang pertama.

Penatalaksanaan pengobatan rabies di Prov Bali mengacu pada hal tersebut, pemberian vaksin sesegera mungkin setelah digigit anjing dan dilakukan vaksinasi ulang tujuh dan empat belas setelah yang pertama.

 Seluruh petugas medis rumah sakit dan Puskesmas di Bali mewaspadai risiko penularan rabies antar manusia. Paparan virus ini bisa terjadi lewat kontak langsung melalui cairan air liur atau luka terbuka yang menjadi sumber virus. Di RS Sanglah yang menjadi rabies center, tiap hari melayani vaksinasi sekitar 50 warga terbanyak warga Denpasar, disusul warga dari kabupaten lain di Bali.

Pencegahan primer  pada upstream  melibatkan kebijakan dan sistem yang berlaku dari lembaga negara/pemerintah maupun dari masyarakat. Salah satu sistem yang dilaksanakan Dinas Peternakan Provinsi Bali adalah  mengembangkan sistem yang bertujuan untuk mempercepat proses pengendalian rabies di Bali,  meliputi prosedur  kerja pemantauan, pelatihan SDM hingga teknik uji laboratorium.

Hasilnya adalah dari 266 desa yang sebelumnya dinyatakan tertular rabies, tinggal 44 desa yang masih tertular rabies. Apalagi saat ini cakupan vaksinasi anjing tahap dua di Bali telah mencapai sekitar 50 persen dari sekitar 360.000 populasi anjing di Bali. cakupan vaksinasi massal secara intens di lokasi wabah Kabupaten Badung pada Desember-Januari ini hanya 35% yakni 16.776 ekor.sementara di Denpasar cakupannya kurang dari 40% yakni 19 ribu ekor.
Kehidupan sosial kemasyarakatan penduduk di Bali tidak bisa dilepaskan dengan keberadaan  Desa Pekraman. Selain sebagai pusat pengembangan kebudayaan Bali., Desa Pekraman juga dijadikan wahana untuk menjalankan program-program pembangunan di Bali baik yang berskala lokal maupun nasional termasuk pembangunan di sektor kesehatan. Ini merupakan salah satu contoh intervensi upstream dengan melakukan pendekatan kepada masyarakat  yang bertujuan untuk meningkatkan dan mengubah peran masyarakat, termasuk mengubah infrastruktur dan sistem dalam masyarakat.

Peran desa pekraman sangat penting dalam upaya mewujudkan peningkatan derajat kesehatan masyarakat di Provinsi Bali. Salah satunya dalam mengeliminasi rabies, agar masyarakat memelihara anjing peliharaannya dengan baik, perlu ada aturan mengenai hal tersebut dan dipertegas dengan menyertakan sangsi bila ada yang melanggarnya. Dengan adanya peraturan tersebut diharapkan masyarakat mau melaksanakan perilaku sehat tersebut dan tentunya diharapkan kedepan akan menjadi kebiasaan, untuk selanjutnya menjadi budaya masyarakat.
 Peraturan-peraturan mengenai hal tersebut memang sebagian besar sudah ada, namun belum tersosialisasi ke seluruh masyarakat. Belum berjalannya penegakkan kasus hukum secara tegas bagi masyarakat yang melanggarnya menyebabkan terkesan peraturan yang sudah ada ini belum efektif. Awig-awig atau perarem yang ada di desa pekraman bisa menjadi jawaban terhadap permasalahan di atas.Seperti ketentuan dalam pemeliharaan hewan yang berkaitan dengan penanggulangan rabies yaitu tidak boleh meliarkan anjing. Adanya perarem/awig-awig ini telah dirasakan manfaatnya dalam penanggulangan rabies di Bali.

Provinsi Bali mengakui gagal mencapai target bebas rabies pada 2012. Pasalnya, hingga pertengahan tahun 2011 kasus rabies masih terjadi di provinsi Bali. Berdasarkan ketentuan badan kesehatan dunia, WHO, sebuah daerah dikatakan bebas rabies jika dalam dua tahun terakhir tidak ditemukan kasus rabies di daerah tersebut.

Beberapa hal  bisa dievaluasi pada kegiatan eliminasi yang sudah dilaksanakan secara lintas sektor dan lintas program, walaupun sudah dilakukan kegiatan pencegahan primer, skunder dan tersier dari upstream, midtream sampai pada downstream. 

Pada pencegahan primer dengan melakukan vaksinasi anjing sudah dilakukan 2 ronde di seluruh Bali, terdapat  sejumlah kendala penanggulangan rabies di Bali di antaranya vaksinasi massal kurang memberikan hasil optimal karena informasi tidak sampai masyarakat dan rendahnya cakupan vaksinasi.

Data dari Dinas Peternakan Provinsi Bali menunjukkan secara keseluruhan 273 desa telah tertular rabies. Namun 173 desa dinyatakan telah bebas  karena dalam satu tahun terakhir tidak lagi ditemukan kasus rabies di desa-desa tersebut, sedangkan 16 desa sebagai daerah penularan rabies baru kemungkinan belum seluruh anjing mendapat vaksinasi, terutama anjing-anjing liar.

Eliminasi anjing liar masih sulit karena hambatan geografis dan ada protes dari pegiat kesejahteraan hewan. Selain itu penggunaan vaksin rabies yang dibooster (vaksin kedua) setelah tiga bulan sangat melelahkan karena sulit menemukan anjing yang telah divaksin sebelumnya dan sulit menangkap kembali anjing jalanan Bali untuk booster.

Tidak semua strategi penanggulangan yang ditetapkan berjalan, misalnya mekanisme pengendalian rabies melalui penutupan wilayah dan pengawasan Check points seperti pelabuhan darat, laut, dan udara belum berjalan karen masih ada kasus penyelundupan.

Sanksi atau tanggung jawab moral pada pemilik anjing yang menggigit orang belum nampak., sehingga masyarakat merasa tidak terlibat dalam pencegahan rabies.

vaksinasi anjing di seluruh Bali. Tapi hal ini sangat sulit dilakukan karena keterbatasan dana dan teknis pemberian VAR pada puluhan ribu anjing yang sebagian besar diliarkan.

Pada tahun 2011 pemerintah provinsi Bali telah mengalokasikan dana mencapai 6 Miliar rupiah untuk penanggulangan rabies. Pada tahun lalu pemerintah provinsi Bali mengalokasikan dana mencapai 3 Miliar rupiah.

Balai Besar Veteriner (BBV) Bali saat ini sedang melakukan penelusuran masuknya virus rabies ke Bali. Diduga disebarkan oleh wondering dog. Dicurigai sumbernya dari wilayah endemik rabies di Indonesia seperti Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Flores.

Selain itu juga adanya ketidaksiagaan perawatan gigitan anjing hanya dengan pemberian Vaksin Anti Rabies (VAR) tanpa pemberian serum anti rabies (SAR) atau Rabies Immunoglobulin (RIG) pada kasus gigitan anjing berisiko tinggi seperti luka dalam dan lokasi gigitan dari lengan ke atas. Pemberian SAR dan VAR adalah standar baku internasional.
Akhirnya, Bali kini telah menetapkan target ulang menjadi bebas rabies pada 2015. Guna mencapai target ini pemerintah provinsi berusaha agar pada 2012 tidak lagi ditemukan kasus rabies di Bali.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar